Sabtu, 05 November 2011

Raden Bhatoro Katong

Mubaligh Islam Pertama di Ponorogo

Raden Katong, yang kemudian lazim disebut Batoro Katong, bagi masyarakat Ponorogo mungkin bukan sekedar figur sejarah semata. Hal ini terutama terjadi di kalangan santri yang meyakini bahwa Batoro Katong-lah penguasa pertama Ponorogo, sekaligus pelopor penyebaran agama Islam di Ponorogo.

Batoro Katong, memiliki nama asli Lembu Kanigoro, tidak lain adalah salah seorang putra Prabu Brawijaya V dari selir yakni Putri Campa yang beragama Islam. Mulai redupnya kekuasaan Majapahit, saat kakak tertuanya, Lembu Kenongo yang berganti nama sebagai Raden Fatah, mendirikan kesultanan Demak Bintoro.

Lembu Kanigoro mengikut jejaknya, untuk berguru di bawah bimbingan Wali Songo di Demak. Prabu Brawijaya V yang pada masa hidupnya berusaha di-Islamkan oleh Wali Songo, para Wali Islam tersebut membujuk Prabu Brawijaya V dengan menawarkan seorang Putri Campa yang beragama Islam untuk menjadi Istrinya.

Berdasarkan catatan sejarah keturunan generasi ke-126 beliau yaitu Ki Padmosusastro, disebutkan bahwa Batoro Katong dimasa kecilnya bernama Raden Joko Piturun atau disebut juga Raden Harak Kali. Beliau adalah salah seorang putra Prabu Brawijaya V dari garwo pangrambe (selir yang tinggi kedudukannya).

Walaupun kemudian Prabu Brawijaya sendiri gagal untuk di-Islamkan, tetapi perkawinannya dengan putri Cempa mengakibatkan meruncingnya konflik politik di Majapahit. Diperistrinya putri Cempa oleh Prabu Brawijaya V memunculkan reaksi protes dari elit istana yang lain. Sebagaimana dilakukan oleh seorang punggawanya bernama Pujangga Anom Ketut Suryongalam. Seorang penganut Hindu, yang berasal dari Bali.

Tokoh yang terakhir ini, kemudian desersi untuk keluar dari Majapahit, dan membangun peradaban baru di tenggara Gunung Lawu sampai lereng barat Gunung Wilis, yang kemudian dikenal dengan nama Wengker (atau Ponorogo saat ini). Ki Ageng Ketut Suryangalam ini kemudian di kenal sebagai Ki Ageng Kutu atau Demang Kutu. Dan daerah yang menjadi tempat tinggal Ki Ageng Kutu ini dinamakan Kutu, kini merupakan daerah yang terdiri dari beberapa desa di wilayah Kecamatan Jetis.

Ki Ageng Kutu-lah yang kemudian menciptakan sebuah seni Barongan, yang kemudian disebut REOG. Dan reog tidak lain merupakan artikulasi kritik simbolik Ki Ageng Kutu terhadap raja Majapahit (disimbolkan dengan kepala harimau), yang ditundukkan dengan rayuan seorang perempuan/Putri Campa (disimbolkan dengan dadak merak).

Dan Ki Ageng Kutu sendiri disimbolkan sebagai Pujangga Anom atau sering di sebut sebagai Bujang Ganong, yang bijaksana walaupun berwajah buruk.

Pada akhirnya, upaya Ki Ageng Kutu untuk memperkuat basis di Ponorogo inilah yang pada masa selanjutnya dianggap sebagai ancaman oleh kekuasaan Majapahit. Dan selanjutnya pandangan yang sama dimiliki juga dengan kasultanan Demak, yang nota bene sebagai penerus kejayaan Majapahit walaupun dengan warna Islamnya.

Sunan Kalijaga, bersama muridnya Kiai Muslim (atau Ki Ageng Mirah) mencoba melakukan investigasi terhadap keadaan Ponorogo, dan mencermati kekuatan-kekuatan yang paling berpengaruh di Ponorogo. Dan mereka menemukan Demang Kutu sebagai penguasa paling berpengaruh saat itu.

Demi kepentingan ekspansi kekuasaan dan Islamisasi, penguasa Demak mengirimkan seorang putra terbaiknya, yakni yang kemudian dikenal luas dengan Batoro Katong dengan salah seorang santrinya bernama Selo Aji dan diikuti oleh 40 orang santri senior yang lain.

Raden Katong akhirnya sampai di wilayah Wengker, lalu kemudian memilih tempat yang memenuhi syarat untuk pemukiman, yaitu di Dusun Plampitan, Kelurahan Setono, Kecamatan Jenangan. Saat Batoro Katong datang memasuki Ponorogo, kebanyakan masyarakat Ponorogo adalah penganut Budha, animisme dan dinamisme.

Singkat cerita, terjadilah pertarungan antara Batoro Katong dengan Ki Ageng Kutu. Ditengah kondisi yang sama sama kuat, Batoro Katong kehabisan akal untuk menundukkan Ki Ageng Kutu. Kemudian dengan akal cerdasnya Batoro Katong berusaha mendekati putri Ki Ageng Kutu yang bernama Niken Gandini, dengan di iming-imingi akan dijadikan istri.

Kemudian Niken Gandini inilah yang dimanfaatkan Batoro Katong untuk mengambil pusaka Koro Welang, sebuah pusaka pamungkas dari Ki Ageng Kutu. Pertempuran berlanjut dan Ki Ageng Kutu menghilang, pada hari Jumat Wage di sebuah pegunungan di daerah Wringin Anom Sambit Ponorogo. Hari ini oleh para pengikut Kutu dan masyarakat Ponorogo (terutama dari abangan), menganggap hari itu sebagai hari naas-nya Ponorogo.

Tempat menghilangnya Ki Ageng Kutu ini disebut sebagai Gunung Bacin, terletak di daerah Bungkal. Batoro Katong kemudian, mengatakan bahwa Ki Ageng Kutu akan moksa dan terlahir kembali di kemudian hari. Hal ini dimungkinkan dilakukan untuk meredam kemarahan warga atas meninggalnya Ki Ageng Kutu.

Setelah dihilangkannya Ki Ageng Kutu, Batoro Katong mengumpulkan rakyat Ponorogo dan berpidato bahwa dirinya tidak lain adalah Batoro, manusia setengah dewa. Hal ini dilakukan, karena Masyarakat Ponorogo masih mempercayai keberadaan dewa-dewa, dan Batara. Dari pintu inilah Katong kukuh menjadi penguasa Ponorogo, mendirikan istana, dan pusat Kota, dan kemudian melakukan Islamisasi Ponorogo secara perlahan namun pasti.

Pada tahun 1486, hutan dibabat atas perintah Batara Katong, tentu bukannya tanpa rintangan. Banyak gangguan dari berbagai pihak, termasuk makhluk halus yang datang. Namun, karena bantuan warok dan para prajurit Wengker, akhirnya pekerjaan membabat hutan itu lancar.

Lantas, bangunan-bangunan didirikan sehingga kemudian penduduk pun berdatangan. Setelah menjadi sebuah Istana kadipaten, Batara Katong kemudian memboyong permaisurinya, yakni Niken Sulastri, sedang adiknya, Suromenggolo, tetap di tempatnya yakni di Dusun Ngampel.

Oleh Katong, daerah yang baru saja dibangun itu diberi nama Prana Raga yang berasal atau diambil dari sebuah babad legenda "Pramana Raga". Menurut cerita rakyat yang berkembang secara lisan, Pono berarti Wasis, Pinter, Mumpuni dan Raga artinya Jasmani. sehingga kemudian dikenal dengan nama Ponorogo.

Kesenian Reog yang menjadi seni perlawanan masyarakat Ponorogo mulai di eliminasi dari unsur-unsur pemberontakan, dengan menampilkan cerita fiktif tentang Kerajaan Bantar Angin sebagai sejarah reog. Membuat kesenian tandingan, semacam jemblungan dan lain sebagainya. Para punggawa dan anak cucu Batoro Katong, inilah yang kemudian mendirikan pesantren-pesantren sebagai pusat pengembangan agama Islam.

Batoro Katong dikenal memiliki sebuah pusaka tombak bernama Kyai Tunggul Naga. Tombak ini memiliki pamor kudung, tangkainya dari sulur pohon jati dan terdapat ukiran naga, dengan ukuran panjang kira-kira 60 cm.

Ada dua versi tentang asal muasal tombak pusaka tersebut. Yang pertama versi keturunan Demang Kutu Ki Ageng Suryangalam dan versi Babad Ponorogo.

Versi keturunan Demang Kutu, menyebutkan bahwa tombak Kyai Tunggul Naga dulunya milik Ki Ageng Suryangalam yang menjadi demang di Kutu. Dimana, Demang Suryangalam yang sebelumnya pujangga di istana Majapahit pergi meninggalkan istana karena kecewa.

Nasehat-nasehatnya untuk menata negeri Majapahit tidak didengarkan oleh Prabu Kertabhumi. Menjelang runtuhnya kerajaan besar itu, keadaan negeri semrawut, bobrok. Banyak gerakan separatis ingin memisahkan diri dari Majapahit.

Sikap oposan Demang Suryangalam ini membuat Prabu Kertabhumi marah, ia kemudian menyuruh salah seorang puteranya yang bernama Raden Batara Katong untuk menangkap Demang Suryangalam. Setelah berhasil mengalahkan Demang Kutu, Raden Batara Katong kemudian memiliki tombak Kyai Tunggul Naga. Adapun tombak itu aslinya berasal dari Tuban, pusaka Adipati Tuban Ranggalawe. Tombak Kyai Tunggul Naga dikenal sebagai pusaka yang ampuh.

Sedang menurut versi Babad Ponorogo, tombak Kyai Tunggul Naga diperoleh Batara Katong dari hasil bersemadi di sebuah tanah lapang tanpa rumput sehelai pun yang disebut ara-ara. Waktu itu Ponorogo masih disebut Wengker. Raden Batara Katong ditemani oleh Ki Ageng Mirah, Patih Seloaji dan Jayadipa. Dari ara-ara itu didapatkan tombak Kyai Tunggul Naga, payung dan sabuk.

Sampai saat ini, nama Batoro Katong, di abadikan sebagai nama Stadion dan sebuah jalan utama Ponorogo. Batoro Katong-pun selalu di ingat pada peringatan Hari Jadi Ponorogo, tanggal 1 Suro. Pada saat itu, pusaka tumbak Kara Welang di kirab dari makam Batoro Katong di kelurahan Setono, Kota Lama, menuju Pendopo Kabupaten.

Menurut Amrih Widodo (1995), pusaka sebagai artefact budaya memang seringkali diangkat statusnya oleh kekuasaan pemerintah lokal, sebagai totems, suatu yang secara sengaja di keramatkan dan menjadi simbol identitas lokal.

Hal inilah yang menunjukkan Batoro Katong memang tak bisa lepas dari alam bawah sadar masyarakat Ponorogo, dan menjadi simbol masa lalu (sejarah) sekaligus bagian dari masa kini. Batoro Katong bukan sekedar bagian dari realitas masa lalu, namun adalah bagian dari masa kini. Hidup di alam hiperealitas, dan menjadi semacam belief yang boleh emosi, keyakinan, kepercayaan masyarakat.
WEWARAH SETO SUCI JATI KUSUMO 1. Memangun resep teyasing Sasomo (kita selalu membuat senang hati orang lain)
2. Jroning suko kudu eling Ian waspodo (di dalam suasana riang kita harus tetap ingat dan waspada)
3. Laksitaning subroto tan nyipto marang pringgo bayaning lampah (dalam perjalanan untuk mencapai cita - cita luhur kita tidak peduli dengan segala bentuk rintangan)
4. Meper Hardaning Pancadriya (kita harus selalu menekan gelora nafsu-nafsu)
5. Heneng - Hening - Henung (dalam keadaan diam kita akan mem peroleh keheningan dan dalam keadaan hening itulah kita akan mencapai cita - cita luhur).
6. Mulyo guno Panca Waktu (suatu kebahagiaan lahir batin hanya bisa kita capai dengan salat lima waktu),4 nafsu manusia dan yg kelima adalah kesempurnaan MA'RIFAT
7. Menehono teken marang wong kang wuto, Menehono mangan marang wong kang luwe, Menehono busono marang wong kang wudo, Menehono ngiyup marang wongkang kodanan (Berilah ilmu agar orang menjadi pandai, Sejahterakanlah kehidupan masya­rakat yang miskin, Ajarilah kesusilaan pada orang yang tidak punya malu, serta beri perlindungan orang yang menderita)

AWAL MULA BERDIRINYA PAGUYUPAN REOG SARDULO SETO MENGGOLO WALIKUKUN NGAWI

Asslam mualaikum wr wb, salam sejahtera bagi kita semua                                                                      Paguyupan ini berdiri pada tanggal 8 pebruari 2008
Nama Sardulo Seto Menggolo ini berarti:
 Sardulo   : Harimau
 Seto        : Putih
 Menggolo: Pemimpin

Paguyupan ini terletak disebelah barat kota Ngawi tepatnya didesa Walikukun kecamatan widodaren Kabupaten Ngawi 35-40 km dari kota Ngawi.

    Dengan bermodalkan kemauan keras untuk melestarikan budaya Indonesia khususnya Reog Ponorogo pemuda pemudi desa walikukun pahlawan, berinisiatif menbuat paguyupan Reog dan atas bimbingan dari mas Danang Agung Nugroho selaku kakak dan orang yang dituakan diantara kami, Alumnus UNEJ ini yang kebetulan pernah bergabung di PSRM (Paguyupan Seni Reog Mahasiswa Sardulo Anurogo) Jember menyikapi dan merespon positif.
    Awalnya tidak berjalan seperti yang semua harapkan, susah payah kami memutar otak untuk bisa mempunyai seperanggat gamelan serta perlengkapan reog pada umumnya.
kami sadar perlengkapan itu tidak murah dan tidak mudah untuk mendapatkannya, satu demi satu perlengkapan mulai ada masih terbesit dalam ingatan kami memiliki cekataan (kepala reog) yang terbuat dari kulit sapi yang dibeli disekar putih.
    selang beberapa waktu gamelan pun ada, lagi-lagi pembimbing kami yang mendatangkan langsung dari kota reog Ponorogo dan sumber dana tersebut dari pembimbing kami pribadi dan orang-orang yang peduli dengan kelestarian budaya khususnya Reog.
sedikit demi sedikit kami belajar gamelan tersebut dengan sabar dan telaten pembimbing kami membimbing dari Nol, yang membuat saya salut pada teman-teman dan pembimbing waktu proses latihan, kami belum punya tempat khusus untuk berlatih sehingga kami selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain dari Rt satu ke Rt lain bahkan di pendopo Kecamatan dan tidak sedikit kerikil-kerikil yang tidak begitu tajam menghalangi langkah kami, namun semua itu tidak menghalangi kami untuk berhenti berkreasi. pembimbing terus menguatkan tekat kami dan beliau pernah berkata ini nikmatnya proses kalau mau menjadi besar.
    Setelah proses latihan kami sudah sedikit menguasai gamelan tersebut,kami belum puas dengan apa yang sudah kami dapat saat ini masih banyak yang belum kita kuasai dan miliki contohnya dadak merak dsb.
maka ada gagasan atau pemikiran dari pemuda pemudi dan karang taruna Rt untuk membuat basar didaerah kami yang tujuannya untuk pemasukkan kas Rt dan paguyupan Masyarakat merespon positif dengan adanya kegiatan ini, disamping pengunjung bisa menikmati segala macam yang ada didalam basar tersebut pengunjung juga disuguhi pementasan Reog
kebetulan pada waktu itu diresmikan Bapak Ir H Budi Sulisyono yang akrab dipanggil Kanang beliau masih menjabat wakil bupati Ngawi pada waktu itu.
   Dengan keterbatasan yang ada dadak merak yang kami gunakan untuk pentas pada waktu itu merupakan dadak merak sewaan yang kami sewa dari kedunggalar, dalam dua hari kami meyuguhkan pementasan reog tersebut luar biasa animo masyarakat Walikukun khususnya dan semua pada umumnya, kami puas dengan apa yang sudah kami berikan pada masyarakat.
setelah basar selesai semangat kami mulai terpacu dengan adanya dadak merak dan kepala reog dari kulit sapi serta seperangkat gamelan.
Selangkah demi selangkah nama Sardulo Seto Menggolo Mulai dikenal dimasyarakat kami mulai diundang diacara hajatan sedikit demi sedikit kami kumpulkan untuk melengkaoi fasilitas dipaguyupan antara lain pakaian warok,jatil,bujangganong,kelana sewandana,pembarong dan cekataan kepala Reog asli yang semula dari kulit sapi.
diPrambanan bersama teman-teman UNMUH Ponorogo, DiBekasi pentas lintas budaya dan kehormatan bagi kami waktu itu yang ngendang pak Edi geol dan dua pembarong mas Alex dan kang Kemek serta kelono mas Andi dari Ponorogo,di Kediri kami mendapat juara 3 dalam rangka memeriahkan hari jadi kota Kediri membawa nama sebuah istansi perbankan ternama dikediri, Penyaji terbaik Festival reog sekabupaten Ngawi 2009,2010,pentas dimagetan, suting pengambilan gambar dibeberapa stasiun tv swasta nasional dll.
 Demikian sekilas perjalanan Paguyupan reog Ponorogo Sardulo Seto Menggolo Walikukun Ngawi yang dulu belum jadi apa-apa dan sekarang menjadi sedemikian adanya
  Terima kasih Mas Danang dan teman-teman.
     SALAM BUDAYA.